Strategi Distribusi Obat merupakan tulang punggung dalam sistem kesehatan nasional. Di Indonesia, negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, tantangan utama terletak pada menjamin ketersediaan dan pemerataan akses obat, terutama di daerah terpencil, terluar, dan perbatasan (3T). Kesenjangan akses ini seringkali berdampak langsung pada kualitas layanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menggariskan upaya intensif untuk memperkuat rantai pasok farmasi, menggabungkan teknologi modern dengan pendekatan logistik yang inovatif. Salah satu pilar utama dari strategi ini adalah penguatan peran Pedagang Besar Farmasi (PBF) lokal dan pemanfaatan gudang farmasi provinsi sebagai hub regional, memastikan bahwa obat esensial dapat didistribusikan hingga ke Puskesmas dan pos kesehatan di lokasi paling sulit dijangkau.
Tantangan geografis dan infrastruktur yang tidak merata menuntut pendekatan logistik yang adaptif. Dalam rangka mempercepat pengiriman, Kemenkes, bekerja sama dengan Badan Pengelola Fasilitas Distribusi Obat (BPFDO), telah menguji coba penggunaan transportasi multimodal, termasuk penerbangan perintis dan kapal cepat. Sebagai contoh, pada Jumat, 22 November 2024, sebuah pilot proyek distribusi obat menggunakan pesawat kargo perintis berhasil dilakukan di wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. Operasi logistik ini dikoordinasi oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, Dr. Elias Maniburi, M.Kes., yang memastikan 500 kg pasokan obat anti-tuberkulosis dan vaksin dasar tiba di Puskesmas Anggi tepat waktu, memangkas waktu distribusi yang semula memakan waktu berminggu-minggu menjadi hanya 48 jam. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur logistik spesifik sangat penting untuk mendukung Strategi Distribusi Obat.
Pengawasan dan manajemen stok menjadi kunci dalam Strategi Distribusi Obat yang efektif. Penerapan sistem informasi manajemen logistik (SIMLOG) farmasi yang terintegrasi di seluruh tingkatan, dari pusat hingga fasilitas pelayanan kesehatan, adalah keharusan. Sistem ini memungkinkan pemantauan stok obat secara real-time, meminimalkan risiko penumpukan stok di satu wilayah dan kekurangan stok kritis di wilayah lain. Misalnya, per 1 Januari 2025, seluruh PBF diwajibkan untuk melaporkan data stok dan transaksi mereka melalui platform digital terpadu yang dikelola oleh BPOM. Kepatuhan terhadap regulasi ini diawasi ketat. Pada Selasa, 15 Juli 2025, tim inspeksi gabungan dari BPOM Pusat dan Polda Metro Jaya, di bawah pimpinan AKBP Dr. Rian Nugroho, S.IK, M.Si., melakukan audit mendadak di kawasan pergudangan farmasi di Jakarta Timur untuk memastikan akuntabilitas data dan kualitas penyimpanan obat sesuai standar Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).
Selain tantangan logistik, aspek pembiayaan dan pengadaan juga memegang peranan penting. Proses pengadaan obat esensial melalui mekanisme e-katalog menjadi langkah strategis untuk menciptakan efisiensi, transparansi, dan daya saing harga. Untuk menjamin pemerataan akses, terutama bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), ketersediaan obat generik di fasilitas kesehatan primer harus diprioritaskan. Strategi Distribusi Obat Nasional juga mencakup edukasi dan pelatihan bagi petugas farmasi di daerah untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam manajemen stok, penjaminan mutu, dan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Pelatihan terakhir yang diselenggarakan oleh Kemenkes untuk tenaga kefarmasian di 20 kabupaten 3T dilaksanakan pada tanggal 10-12 Maret 2025 di Pusat Pelatihan Kesehatan Nasional, Cikarang, melibatkan 150 peserta.
Secara keseluruhan, upaya untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan akses obat di Indonesia adalah tugas yang kompleks dan berkelanjutan. Dengan penguatan infrastruktur logistik, penerapan teknologi informasi, dan pengawasan regulasi yang ketat, Indonesia optimis dapat mengatasi disparitas akses dan mewujudkan ketahanan farmasi nasional yang lebih tangguh dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.


Stay In Touch