Analisis Peluang ekspor produk industri farmasi Indonesia ke pasar global menunjukkan potensi yang cerah, didorong oleh peningkatan permintaan global terhadap obat generik, produk herbal terstandar (fitofarmaka), dan kebutuhan akan diversifikasi rantai pasok pasca-pandemi. Indonesia, dengan populasi besar dan kekayaan sumber daya alamnya, memiliki modal kuat untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga menjadi pemain kunci di pasar regional ASEAN, bahkan menembus pasar yang lebih ketat di Eropa dan Amerika Utara. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kesehatan telah menetapkan target ambisius untuk meningkatkan nilai ekspor farmasi nasional sebesar 15% per tahun hingga 2030, didukung oleh fasilitas produksi yang telah memenuhi standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) internasional.
Salah satu kunci utama dalam memaksimalkan Analisis Peluang ini adalah fokus pada produk yang memiliki keunggulan komparatif. Fitofarmaka menjadi primadona karena Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Obat-obatan herbal yang telah melalui uji klinis dan terstandarisasi memiliki daya tarik besar di pasar internasional yang semakin menghargai pengobatan alami dan preventif. Sebagai contoh, PT. Sido Muncul Tbk pada tahun 2024, tepatnya kuartal kedua, berhasil menandatangani kontrak ekspor senilai $5 juta USD untuk produk Tolak Angin ke 10 negara di Afrika Utara dan Timur Tengah, menunjukkan penerimaan pasar global terhadap produk herbal Indonesia. Kesuksesan ini didasarkan pada kepatuhan terhadap regulasi impor dan sertifikasi produk yang ketat dari negara tujuan.
Meskipun peluangnya besar, ada sejumlah tantangan signifikan yang harus diatasi. Tantangan terbesar adalah keterbatasan produksi Bahan Baku Obat (BBO) domestik, yang membuat harga produk akhir Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara produsen besar seperti India dan Tiongkok. Selain itu, proses registrasi dan sertifikasi di negara tujuan ekspor seringkali rumit, memakan waktu, dan memerlukan investasi besar. Memperoleh sertifikasi internasional seperti European Medicines Agency (EMA) atau US Food and Drug Administration (FDA) memerlukan komitmen jangka panjang terhadap kualitas dan kepatuhan yang konsisten.
Pemerintah terus berupaya mengatasi tantangan ini. Pada Rabu, 11 Maret 2026, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, mengumumkan insentif pajak baru berupa pembebasan bea masuk atas impor mesin dan peralatan yang digunakan untuk pembangunan atau pengembangan pabrik BBO, yang secara spesifik berlaku untuk industri farmasi di wilayah Kawasan Industri Morowali sebagai pilot project. Langkah ini adalah bagian dari upaya menyeluruh untuk Analisis Peluang industri farmasi domestik agar lebih berdaya saing.
Aspek keamanan produk juga tidak luput dari perhatian. Untuk melindungi reputasi ekspor, pengawasan terhadap rantai pasok dilakukan secara ketat. Pada Jumat, 25 Juli 2025, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dr. Penny K. Lukito, S.E., M.A., menginstruksikan peningkatan frekuensi inspeksi fasilitas produksi obat yang berorientasi ekspor. Dalam kasus yang terkait, pada Kamis, 15 Januari 2026, tim gabungan dari Ditjen Bea Cukai dan Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri, yang dipimpin oleh Kombes Pol. Eko Prasetyo, S.H., S.IK., berhasil menggagalkan upaya penyelundupan bahan kimia prekursor farmasi yang tidak terdaftar di Pelabuhan Tanjung Priok, menunjukkan komitmen negara dalam menjaga integritas bahan baku obat.
Kesimpulannya, masa depan industri farmasi Indonesia di pasar global sangat bergantung pada kemampuan untuk berinvestasi dalam penelitian BBO domestik, memenuhi standar mutu internasional, dan memanfaatkan keunggulan produk fitofarmaka. Dengan kebijakan yang tepat dan kolaborasi erat antara regulator dan pelaku industri, Indonesia dapat mewujudkan visinya sebagai basis produksi dan ekspor farmasi yang signifikan di Asia.


Stay In Touch