Revolusi Digital telah merambah berbagai sektor, termasuk industri farmasi dan proses uji klinis (UK). Secara tradisional, UK memerlukan partisipasi intensif di lokasi penelitian, yang seringkali menjadi hambatan besar, terutama bagi pasien di daerah terpencil atau mereka yang memiliki mobilitas terbatas. Kini, teknologi Kunjungan Medis Jarak Jauh (KMJJ) atau Decentralized Clinical Trials (DCTs) mengubah cara penelitian obat baru dilakukan. DCTs memanfaatkan perangkat wearable, telemedisin, dan platform digital terintegrasi untuk mengumpulkan data pasien dari rumah mereka, memungkinkan pemantauan yang lebih berkelanjutan dan mengurangi biaya logistik. Model uji klinis terdesentralisasi ini tidak hanya mempercepat proses pengembangan obat, tetapi juga meningkatkan inklusivitas dan representasi pasien dari berbagai latar belakang geografis.
Penerapan KMJJ dalam UK didukung oleh berbagai instrumen teknologi. Perangkat kesehatan digital seperti monitor tekanan darah otomatis, smartwatch, dan sensor glukosa yang terhubung ke aplikasi riset memungkinkan peneliti mengumpulkan data fisiologis pasien secara real-time dan objektif. Data ini kemudian dienkripsi dan ditransmisikan melalui cloud ke pusat data penelitian. Integrasi data ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan akurasi hasil UK. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia telah merespons tren ini dengan mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Uji Klinis Terdesentralisasi pada awal tahun 2024, tepatnya tanggal 20 Februari 2024, melalui Surat Edaran Kepala BPOM Nomor HK.03.01.2.1.20.02.24.120. Pedoman ini memberikan kerangka kerja regulasi bagi industri farmasi dan lembaga riset untuk mengadopsi KMJJ secara legal dan etis.
Manfaat utama dari Kunjungan Medis Jarak Jauh terletak pada efisiensi waktu dan biaya. Dengan mengurangi jumlah kunjungan fisik yang harus dilakukan pasien ke rumah sakit atau pusat riset, beban logistik berkurang drastis, yang secara otomatis meningkatkan kepatuhan pasien terhadap protokol penelitian. Sebagai ilustrasi, sebuah studi UK fase III untuk obat diabetes yang melibatkan 500 pasien, yang dilakukan oleh PT Bio Farma di Jawa Timur dan Bali pada Mei hingga Desember 2025, diperkirakan dapat mengurangi total biaya perjalanan pasien hingga Rp 1,5 Miliar berkat integrasi telemedisin untuk konsultasi dan pemantauan rutin.
Namun, adopsi Revolusi Digital ini juga menimbulkan tantangan, terutama terkait keamanan data pasien dan kesiapan infrastruktur digital di daerah. Akses internet yang tidak merata di seluruh Indonesia dapat menjadi penghalang bagi pasien di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) untuk berpartisipasi penuh dalam DCTs. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan industri farmasi berinvestasi dalam pelatihan digital dan penyediaan perangkat keras dasar. Upaya ini termasuk kerjasama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Asosiasi Perusahaan Farmasi Indonesia (APFI). Pada Rabu, 10 September 2025, Kominfo mengirimkan tim teknis ke Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk memasang infrastruktur mesh network nirkabel guna mendukung transfer data UK.
Integritas data dan etika penelitian tetap menjadi prioritas utama. Semua platform digital yang digunakan dalam KMJJ harus mematuhi standar kerahasiaan data pasien (seperti prinsip Good Clinical Practice/GCP yang diperbarui). Bahkan, pada Senin, 17 November 2025, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor, Jawa Barat, Kompol Dedi Susanto, S.H., M.H., secara proaktif mengeluarkan imbauan kepada masyarakat dan lembaga riset untuk meningkatkan pengamanan siber guna mencegah kebocoran data UK, menunjukkan perhatian serius aparat terhadap aspek legal dan keamanan informasi.
Kesimpulannya, pergeseran ke model KMJJ adalah perwujudan nyata dari Revolusi Digital dalam ilmu kedokteran. Dengan dukungan regulasi yang jelas, investasi pada teknologi, dan fokus pada etika, Indonesia berpotensi menjadi hub riset klinis yang lebih efisien dan inklusif di Asia Tenggara, mempercepat akses masyarakat terhadap obat-obatan baru yang inovatif.


Stay In Touch